Penulis, aktivis, sociopreneur.\xd\xd\xd Menyuarakan nalar kritis dan semangat mandiri dari pesantren ke publik digital #LuffyNeptuno
Malang, Kota Pendidikan yang Tak Pernah Kehilangan Toko Buku
3 jam lalu
Di balik gemerlap kampus dan kafe, toko buku di Malang menjadi saksi senyap perjuangan literasi.
“Sebuah kota literasi bisa diukur dari bagaimana ia merawat buku dan para pembacanya. Bila toko buku terus tumbuh, maka di sanalah literasi menemukan rumahnya.”
Malang adalah kota yang penuh warna. Disebut Kota Pendidikan karena ia menampung ratusan ribu pelajar dari berbagai daerah di Indonesia. Mereka datang dengan ragam aksen, budaya, bahkan mimpi yang berbeda. Dari pagi hingga malam, jalanan dipenuhi lalu lalang mahasiswa yang baru saja keluar dari kampus, atau pelajar yang pulang membawa tas berat berisi buku catatan hingga buku referensi.
Tapi sesungguhnya, denyut pendidikan tidak hanya berputar di ruang kelas maupun perpustakaan kampus saja. Ia juga hidup di toko-toko buku. Tempat di mana orang datang dengan rasa ingin tahu, lalu pulang dengan bekal baru dalam bentuk halaman-halaman kertas. Di sinilah literasi tumbuh dan bersemi.
Bagi saya pribadi, toko buku bukan sekadar tempat jual-beli. Ia adalah ruang perjumpaan antara penulis dan pembaca, antara gagasan dan kenyataan, antara mimpi dan kenyataan hidup. Dan Malang, beruntungnya, masih memiliki banyak pilihan toko buku yang bisa kita sebut sebagai wajah-wajah literasi kota ini.
Mari kita telusuri lima di antaranya, beserta kisah singkat yang membentuk jejak mereka.
1. Gramedia MOG, Modernitas yang Membawa Buku ke Mal
Gramedia adalah nama besar yang tidak bisa dilepaskan dari dunia buku di Indonesia. Didirikan pertama kali di Jakarta pada 1970-an, jaringan ini berkembang menjadi raksasa retail literasi dan jendela dunia. Kehadirannya di Malang menjadi penanda bahwa kota ini memang punya pasar pembaca yang kuat.
Gramedia Malang Town Square (MOG) muncul menampilkan wajah baru yang modern, luas, dan mengikuti gaya hidup urban. Toko ini bukan sekadar menjual buku, melainkan menghadirkan pengalaman dan kesan tersendiri. Anak-anak bisa memilih buku cerita interaktif, remaja sibuk mencari novel populer, sementara mahasiswa memadati rak-rak referensi.
Sejarahnya di Malang bermula dari kebutuhan menghadirkan Gramedia yang lebih segar setelah Gramedia Kajoetangan menjadi ikon lama. Lokasinya di dalam mal terbesar yang membuatnya strategis. Sejak dibuka, Gramedia MOG menjadi magnet tersendiri, tempat yang menggabungkan hiburan dan literasi dalam satu atap.
2. Gramedia Kajoetangan, Legenda di Pusat Kota
Sebelum ada Gramedia di mal, Malang sudah lebih dulu mengenal Gramedia Kajoetangan. Letaknya di Jalan Basuki Rahmat, tepat di jantung kota yang dahulu dikenal sebagai kawasan perdagangan paling ramai.
Bagi orang Malang generasi 80-an hingga 2000-an, Gramedia Kajoetangan adalah toko buku pertama yang mereka datangi dengan penuh rasa kagum. Ada cerita orang tua yang menabung berminggu-minggu hanya untuk bisa membeli satu novel remaja di sini. Ada pula mahasiswa yang sengaja mampir setiap sore hanya untuk membaca sekilas di rak sebelum akhirnya bisa membeli.
Dari segi sejarah, Gramedia Kajoetangan bisa disebut sebagai pionir literasi modern di Malang. Ia berdiri ketika budaya membaca mulai menemukan momentumnya, dan sampai hari ini, meski kalah gemerlap dari Gramedia MOG, tetap memiliki tempat di hati para pengunjung setia.
Suasananya lebih klasik. Rak-rak kayu tua, pencahayaan yang tidak secerah MOG, tetapi justru itulah yang membuatnya hangat. Ia adalah nostalgia literasi yang masih hidup dan terus hidup.
3. Pasar Buku Wilis, Jejak Panjang Buku Bekas
Berbeda dari Gramedia, Pasar Buku Wilis lahir dari semangat kerakyatan. Lokasinya di Jalan Besar Ijen, tidak jauh dari pusat kota. Konon, sejak dekade 1980-an, para pedagang buku bekas mulai membuka lapak di kawasan ini. Mereka menjual buku-buku yang sudah berpindah tangan berkali-kali, dari novel sastra, buku pelajaran, hingga ensiklopedia lawas.
Pasar ini cepat mendapat tempat di hati pelajar dan mahasiswa. Harganya jauh lebih murah daripada toko buku besar, bahkan bisa ditawar. Lebih dari itu, ada kesenangan tersendiri ketika menemukan buku langka seperti sebuah novel Pramoedya dengan sampul pudar, atau buku referensi kuliah yang sudah tidak dicetak lagi.
Pasar Buku Wilis bukan hanya tentang transaksi, melainkan juga tentang interaksi. Pedagangnya ramah, sering mengingat wajah pelanggan, bahkan kadang mau menyimpankan buku tertentu kalau tahu pembelinya sedang mencari namun belum memiliki uang. Itulah yang membuat tempat ini bertahan hingga sekarang, meski dunia digital makin menggerus.
4. Togamas Dieng: Dari Yogyakarta ke Malang
Togamas pertama kali berdiri di Yogyakarta pada 1990-an dengan satu prinsip sederhana yaitu menjual buku lebih murah daripada toko besar. Filosofi itu yang kemudian dibawa ke Malang ketika cabangnya dibuka di kawasan Dieng.
Mahasiswa Malang segera jatuh cinta pada Togamas. Slogannya “Toko Buku Diskon” bukan sekadar kata-kata. Buku-buku di sini memang lebih ramah di kantong. Rak-raknya sederhana, tidak semewah Gramedia, tetapi lengkap dengan referensi kuliah, buku akademik, hingga bacaan populer.
Dalam sejarah perkembangan literasi Malang, Togamas menjadi representasi “sahabat mahasiswa.” Ia adalah toko buku yang tumbuh bersama kebutuhan pelajar. Bahkan hingga kini, Togamas tetap ramai setiap awal semester ketika mahasiswa berburu buku wajib kuliah.
Togamas menunjukkan bahwa literasi tidak harus mahal, dan justru dengan kesederhanaan ia bisa mendekatkan buku ke lebih banyak orang.
5. Pasar Buku dan Seni Velodrome, Literasi Bertemu Kreativitas
Velodrome awalnya dikenal sebagai kawasan olahraga dan ruang publik. Namun, seiring waktu, kawasan ini berkembang menjadi salah satu titik pertemuan anak muda, komunitas, dan seniman. Dari situlah muncul Pasar Buku dan Seni Velodrome.
Berbeda dari Wilis, Velodrome bukan hanya pasar buku bekas. Ia juga tempat di mana seni, komunitas, dan literasi bertemu. Ada buku indie, karya-karya lokal, hingga pernak-pernik kreatif buatan tangan. Seringkali, kegiatan seperti diskusi buku, pameran kecil, hingga pertunjukan seni diadakan di sini.
Sejarah singkat Velodrome sebagai pasar seni memperlihatkan wajah baru literasi Malang. Ia bukan sekadar ruang jual-beli, melainkan laboratorium gagasan. Tempat di mana buku diperlakukan bukan hanya sebagai benda mati, tetapi sebagai inspirasi untuk melahirkan karya lain.
Velodrome adalah simbol bahwa literasi di Malang tidak beku, tetapi selalu bergerak mengikuti zaman.
Toko Buku sebagai Penjaga Kota Pendidikan
Lima toko buku ini (Gramedia MOG, Gramedia Kajoetangan, Pasar Buku Wilis, Togamas Dieng, dan Velodrome) adalah potongan mozaik dari wajah literasi Kota Malang sebagai Kota Pendidikan. Masing-masing punya sejarah, suasana, dan perannya sendiri dalam merawat budaya membaca.
Namun, kita tidak bisa menutup mata bahwa toko buku kini menghadapi tantangan berat. Belanja daring menawarkan kenyamanan dan harga yang seringkali lebih murah. Ebook dan platform digital menggoda dengan kemudahan sekali klik. Akibatnya, toko-toko buku fisik kerap tampak sepi.
Meski demikian, saya percaya toko buku punya daya hidup yang tidak bisa sepenuhnya digantikan digital. Karena pengalaman membaca bukan hanya soal isi buku, tetapi juga perjalanan menemukannya. Menyusuri rak-rak, merasakan tekstur kertas, bahkan percakapan kecil dengan penjual buku itu semua adalah bagian dari ekosistem literasi yang nyata.
Malang disebut Kota Pendidikan bukan semata karena banyaknya kampus, tetapi juga karena warganya masih merawat budaya membaca. Dan toko buku adalah garda terdepan dari budaya itu.
Saya membayangkan, suatu hari nanti ketika anak-anak muda bertanya, “Mengapa Malang disebut Kota Pendidikan?”, maka jawabannya tidak hanya soal kampus besar atau ribuan pelajar yang menuntut ilmu. Jawabannya juga ada di toko-toko buku yang kita kunjungi hari ini yakni Gramedia yang modern, Wilis yang bersahaja, Togamas yang ramah kantong, dan Velodrome yang kreatif.
Tugas kita sederhana, jangan biarkan toko-toko itu mati. Kunjungi mereka, beli satu-dua buku, dan jadikan membaca sebagai kebiasaan. Karena selama toko buku hidup, Malang akan terus layak disebut Kota Pendidikan.

Sociopreneur | Founder Neptunus Kreativa Publishing
8 Pengikut

Oase Pengetahuan di Tengah Krisis Membaca
1 hari laluBaca Juga
Artikel Terpopuler